Kamis, 18 April 2013

OLD SONG


Sore yang cerah.

Sekarang pukul empat lewat lima belas menit dan ia masih punya banyak waktu untuk mencapai tempat latihan basketnya. Cuacanya bagus—ia mendongak—melihat gumpalan awan berwarna sedikit kekuningan, tampak seperti kembang gula raksasa baginya. Ia menenteng tas sport besar di bahu kirinya, sedangkan tangan kanannya sibuk  merogoh saku celana training yang ia kenakan—mencari iPod-nya.

Ia berhenti berjalan. Memasangkan earphone di telinga kirinya, lalu mengatur playlist-nya dengan ‘shuffle mode’. Ia ingin tahu, lagu-lagu apa yang akan dia dengarkan? Ah— sepertinya akan menyenangkan. Ia mulai berjalan lagi. Lagu pertama yang didengarnya adalah lagu barat—temponya cepat, dengan instrument khas jenis musik electronica—lagu dari Owl City.
Ia berbelok di persimpangan di ujung gang rumahnya.

Tak lama lagu berirama ceria mulai ia dengar—dari grup idola kesukaannya—Girls Generation. Ia bersenandung pelan, sesekali menggumamkan lirik lagu yang mengalun di telinganya. Pikirannya tidak jauh-jauh dari visualisasi para member Girls Generation yang sedang beraksi di atas panggung. Ia tersenyum sendiri—mungkin tanpa sadar.

Ia berhenti lagi.

Matanya menatap lurus ke papan penanda yang berada di depannya—memblokir jalan yang akan ia lewati. Sedang ada perbaikan pipa air. Sial, pikirnya sebal. Jalan ini adalah satu-satunya jalan tercepat menuju tempat latihannya! Apa ia harus memutar? Tidak—tidak akan sempat, terlalu jauh. Ah—sebenarnya ada satu jalan lagi.  Sudah cukup lama ia tidak pernah melewati jalan itu lagi—ia menghindari jalan itu semampunya. Kalau bisa, ia tidak akan mau melewati jalan itu lagi—selamanya.

Tapi kalau dipikir-pikir sekarang... Rasanya ia hanya punya satu pilihan. Lagipula, jauh di dalam hatinya, ia merindukan tempat itu—jalan itu. Tempat dimana semuanya bermula—dan berakhir pula.  Jalan itu mengingatkannya pada seseorang, ah—lagu I Remember dari Bang Yongguk dan Jung Daehyun mulai berbisik di telinganya. Timing-nya pas sekali. Jadi, ia memutuskan untuk berbalik—menuju jalan satu-satunya itu.

Jalan itu masih sama.

Teduh, terlindung dari cahaya matahari yang berlebihan—berada di bawah bayangan pohon-pohon besar di kedua sisinya. Masih ada sebuah bangku di tepi kanan jalan. Dan penjual es krim itu juga masih berjualan disana.  Kesan damai dan ketenangan yang menyenangkan mulai menyeruak dalam dadanya. Namun disisi lain, ada sesuatu yang mengganjal hatinya—ia merasa sesak. Ia menghela napas panjang, lalu mulai berjalan menyusuri jalan yang sepi itu. Sengaja atau tidak, iPod-nya sekarang sedang memutarkan sebuah lagu yang dulu sangat familiar di telinganya. Lagu yang memiliki begitu banyak kenanganmanis dan pahit.

Ia mendongak ke atas.

Sinar matahari yang menerobos lindungan dedaunan mengenai matanya—ia mengerjap sekali. Dipandanginya setiap sudut jalan itu sambil tetap berjalan pelansangat pelan. Ia tidak mau terlalu buru-buru meninggalkan tempat iniya, ia tidak mau buru-buru. Lagu itu masih mengalun di telinganyaia berbalik. Namun tidak ada siapa-siapa disana. Ia tersenyum getir.

Sekali lagi, ia menghela napas panjang.

Bayangan orang itu memenuhi benaknya. Suasana yang mendukung, ditambah lagu yang terus mengalun itu benar-benar memaksanya untuk membongkar kembali semua hal tentang orang ituyang telah ditutup dan dikuncinya rapat-rapat dalam hatinya. Sedikit berharap saat ia berbalik sekali lagi, orang itu akan ada disanatersenyum padanyamengulurkan tangan dan ia akan dengan senantiasa menyambut tangan itumenggenggamnya erat-erat. Ia bersumpah jika hal itu terjadi, ia tidak akan pernah melepaskan genggamannya sedikitpun. Ia berhenti berjalankemudian berbalik. Garis wajahnya melemasia tersenyum.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar