Sore
yang cerah.
Sekarang
pukul empat lewat lima belas menit dan ia masih punya banyak waktu untuk
mencapai tempat latihan basketnya. Cuacanya bagus—ia mendongak—melihat gumpalan
awan berwarna sedikit kekuningan, tampak seperti kembang gula raksasa baginya.
Ia menenteng tas sport besar di bahu kirinya, sedangkan tangan kanannya
sibuk merogoh saku celana training yang
ia kenakan—mencari iPod-nya.
Ia
berhenti berjalan. Memasangkan earphone di telinga kirinya, lalu mengatur
playlist-nya dengan ‘shuffle mode’. Ia ingin tahu, lagu-lagu apa yang akan dia
dengarkan? Ah— sepertinya akan menyenangkan. Ia mulai berjalan lagi. Lagu
pertama yang didengarnya adalah lagu barat—temponya cepat, dengan instrument
khas jenis musik electronica—lagu dari Owl City.
Ia
berbelok di persimpangan di ujung gang rumahnya.
Tak
lama lagu berirama ceria mulai ia dengar—dari grup idola kesukaannya—Girls
Generation. Ia bersenandung pelan, sesekali menggumamkan lirik lagu yang
mengalun di telinganya. Pikirannya tidak jauh-jauh dari visualisasi para member
Girls Generation yang sedang beraksi di atas panggung. Ia tersenyum sendiri—mungkin
tanpa sadar.
Ia
berhenti lagi.
Matanya
menatap lurus ke papan penanda yang berada di depannya—memblokir jalan yang
akan ia lewati. Sedang ada perbaikan pipa air. Sial, pikirnya sebal. Jalan ini
adalah satu-satunya jalan tercepat menuju tempat latihannya! Apa ia harus
memutar? Tidak—tidak akan sempat, terlalu jauh. Ah—sebenarnya ada satu jalan
lagi. Sudah cukup lama ia tidak pernah
melewati jalan itu lagi—ia menghindari jalan itu semampunya. Kalau bisa, ia
tidak akan mau melewati jalan itu lagi—selamanya.
Tapi
kalau dipikir-pikir sekarang... Rasanya ia hanya punya satu pilihan. Lagipula,
jauh di dalam hatinya, ia merindukan tempat itu—jalan itu. Tempat dimana
semuanya bermula—dan berakhir pula. Jalan itu mengingatkannya pada seseorang,
ah—lagu I Remember dari Bang Yongguk dan Jung Daehyun mulai berbisik di
telinganya. Timing-nya pas sekali. Jadi, ia memutuskan untuk berbalik—menuju
jalan satu-satunya itu.
Jalan
itu masih sama.
Teduh,
terlindung dari cahaya matahari yang berlebihan—berada di bawah bayangan pohon-pohon
besar di kedua sisinya. Masih ada sebuah bangku di tepi kanan jalan. Dan
penjual es krim itu juga masih berjualan disana. Kesan damai dan ketenangan yang menyenangkan
mulai menyeruak dalam dadanya. Namun disisi lain, ada sesuatu yang mengganjal
hatinya—ia merasa sesak. Ia menghela napas panjang, lalu mulai berjalan
menyusuri jalan yang sepi itu. Sengaja atau tidak, iPod-nya sekarang sedang
memutarkan sebuah lagu yang dulu sangat familiar di telinganya. Lagu yang
memiliki begitu banyak kenangan—manis
dan pahit.
Ia
mendongak ke atas.
Sinar
matahari yang menerobos lindungan dedaunan mengenai matanya—ia mengerjap
sekali. Dipandanginya setiap sudut jalan itu sambil tetap berjalan pelan—sangat pelan. Ia tidak mau
terlalu buru-buru meninggalkan tempat ini—ya,
ia tidak mau buru-buru. Lagu itu masih mengalun di telinganya—ia berbalik. Namun tidak ada
siapa-siapa disana. Ia tersenyum getir.
Sekali
lagi, ia menghela napas panjang.
Bayangan
orang itu memenuhi benaknya. Suasana yang mendukung, ditambah lagu yang terus
mengalun itu benar-benar memaksanya untuk membongkar kembali semua hal tentang orang
itu—yang telah ditutup dan dikuncinya
rapat-rapat dalam hatinya. Sedikit berharap saat ia berbalik sekali lagi, orang
itu akan ada disana—tersenyum
padanya—mengulurkan tangan dan ia akan
dengan senantiasa menyambut tangan itu—menggenggamnya
erat-erat. Ia bersumpah jika hal itu terjadi, ia tidak akan pernah melepaskan
genggamannya sedikitpun. Ia berhenti berjalan—kemudian berbalik. Garis wajahnya melemas—ia tersenyum.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar